Jumat,  29 March 2024

Omzetnya Rp 146 T, Pedagang Online Bakal Dikejar Pajak

NS/RN
Omzetnya Rp 146 T, Pedagang Online Bakal Dikejar Pajak

RADAR NONSTOP - Dagang online menjadi solusi ekonomi bagi banyak orang. Sebab, selain dengan modal rendah si pedagang juga dengan mudah menjajakan dagangannya. 

Berdasarkan data dari Perkembangan usaha perdagangan berbasis online (e-commerce) di Indonesia sangat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya hingga saat ini total jumlah e-commerce di Indonesia sekitar 26,2 juta.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan dari Sensus Ekonomi 2016 yang dilakukan pihaknya, muncul data sementara jumlah e-commerce yang ada di Indonesia. Dalam ‎kurun waktu 10 tahun, jumlah e-commerce di Indonesia meningkat sekitar 17 persen.

BERITA TERKAIT :
Sambangi Rusun Kapuk Muara, BPJS Kes Jakut Bantu Permudah Anak Sujanah Daftarkan Kepesertaan
Lansia di Kapuk Muara Sedih Lihat Anaknya Harus Urus BPJS Kesehatan Dengan Kondisi Sakit

Selasa (27/2/2018), menurut data Google & Temasek pada 2017, pembelian produk via e-Commerce di Indonesia mencapai US$ 10,9 miliar atau sekitar Rp 146,7 triliun, meroket 41 persen dari angka US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 74 triliun pada 2015.

Kini pemerintah lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal mengejar pajak para pedagang online. Omzet triliunan rupiah tentunya bisa menjadi dana gurih buat penambahan APBN. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah tak pandang bulu dalam mengejar pajak, baik itu e-commerce maupun toko konvensional. Pernyataan ini disampaikan Sri Mulyani saat rapat dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (11/6/2019).

"Sebetulnya dari sisi perpajakan tidak ada perbedaan karena kemampuan untuk collect pajak perusahaan apapun di bawah Rp 4,9 miliar, apakah digital ke konvensional mereka adalah UMKM," tegas Sri Mulyani.

Oleh karena itu, kata Sri Mulyani, tidak ada pengecualian untuk mengejar pajak untuk sektor yang strategis. Sementara dari cara pemungutannya, masih akan dibahas bersama dengan para pelaku e-commerce.

"Dari sisi policy tidak ada diskriminasi dengan sektor konvensional or digital. Saya ingin tegaskan tidak ada perlakuan perpajakan yang berbeda antara konvensional dengan yang sifatnya digital," kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Sri Mulyani menambahkan negara-negara yang tergabung dalam G20 masih membahas untuk kerja sama terkait pajak digital.

"G20 minta OECD minta lakukan kajian. Pertama, kegiatan bisnis digital itu bisnis modelnya beda dengan non digital karena mereka tidak harus memiliki BUT (Badan Usaha Tetap) or permanent establishment di suatu negara or jurisdiction sehingga bisa beroperasi di lintas negara," jelas Sri Mulyani.

"Itu yang membuat kesulitan karena basis pajak adalah kehadiran perusahaan secara fisik. Tapi perusahaan digital bisa lakukan tanpa buat cabang or BUT or permanent establishment. Jadi ini tidak hanya di Indonesia. Sehingga kehadiran secara fisik tidak bisa lagi dijadikan secara fisik," tuturnya.

 

 

 

 

#UKM   #PedagangOnline   #Pajak   #