Jumat,  26 April 2024

Tiga Periode Jadi Wacana, Jokowi Murka, Serius Apa Pura - pura Nih?

RN/CR
Tiga Periode Jadi Wacana, Jokowi Murka, Serius Apa Pura - pura Nih?

RADAR NONSTOP - Presiden Joko Widodo menanggapi sinis wacana presiden tiga periode.

Menurutnya, wacana tersebut secara tidak langsung memiliki makna yang cukup dalam buat dirinya. “Satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin mencari muka, padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi, dalam diskusi bersama wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12/2019).

Usulan masa jabatan presiden hingga tiga periode mengemuka berbarengan dengan hangatnya wacana untuk melakukan amandemen UUD 1945. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, mengatakan saat ini hingga tiga tahun ke depan, lembaganya sedang mengumpulkan dan menyerap aspirasi dari publik. Salah satu aspirasi yang diterima oleh MPR RI adalah masa jabatan presiden. 

BERITA TERKAIT :
Jokowi Melanggar Etika Karena Dukung Paslon, Tapi Gak Bisa Terjerak Hukum
Jokowi Selamat Dari Putusan MK, Hakim Sebut Presiden Tak Melakukan Nepotisme 

Menurut Bambang, terkait amandemen UUD 1945, ada enam wacana yang berkembang. Salah satunya adalah kembali ke UUD NRI 1945. Lalu ada juga wacana masa jabatan presiden hingga tiga periode, atau masa jabatan presiden satu periode, tapi selama delapan tahun. Juga ada wacana untuk mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden kepada MPR RI. 

Ada juga usulan amandemen terbatas mendorong untuk lahirnya Garis Besar Haluan Negara atau GBHN. Dan, ada juga yang berpandangan belum diperlukan amandemen, karena UUD NRI 1945 masih memadai dan masih bisa mengakomodir kehidupan bangsa untuk ke depannya.

"Paling tidak, kalau kita sependapat pilpres dan pileg serentak tidak nyaman, membahayakan, melelahkan, mau enggak mau, kita harus amandemen, sesuai dengan bunyi UUD 1945," ujarnya.

Ditolak Rame - Rame

Wacana masa jabatan presiden yang diusulkan hingga tiga periode langsung menjadi trending. Penolakan langsung berdatangan dari berbagai penjuru. Para petinggi parpol beramai-ramai menyampaikan keberatannya.  

Partai Keadilan Sosial, yang dengan tegas memposisikan diri sebagai oposisi, menyatakan penolakannya. Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Nasir Djamil mengatakan bahwa Partai Keadilan Sejahtera menolak wacana masa jabatan presiden tiga periode dan presiden dipilih oleh MPR dalam amandemen UUD 1945.

"Kami tegas mengatakan, menolak wacana memperpanjang kekuasaan tiga periode. Begitu juga dengan mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden ke MPR," kata Nasir dalam sebuah forum diskusi bertajuk “Membaca Arah Amandemen UUD 1945” di Jakarta, Sabtu, 30 November 2019. Alasan penolakan wacana itu karena kekuasaan harus diawasi dan dibatasi sesuai kondisi demokrasi. Pemilihan presiden oleh MPR akan merusak sistem presidensial.

Penolakan yang sama juga datang dari partai pendukung presiden, Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ade Irfan Pulungan menyatakan usulan itu tidak relevan untuk saat ini. "Saya melihat wacana (yang berkembang) hari ini menandakan kita tidak siap dengan konsep demokrasi yang kuat dan menyentuh rakyat,” ujarnya. 

Menurut Ade Irfan, segala ekses yang muncul akibat pemilihan langsung, seperti polarisasi yang tajam di masyarakat, cekcok dan perdebatan adalah hal yang perlu diperbaiki, tapi bukan dengan mengembalikan metode pemilihan seperti di masa Orde Baru. 

Partai Demokrat juga menolak keras wacana tersebut. Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan dengan tegas mengatakan partainya menolak masa jabatan presiden hingga tiga periode. Selain itu, Partai Demokrat juga menolak wacana pemilihan presiden dan wakil presiden oleh wakil rakyat. 

"Kekuasaan presiden yang terlalu lama di tangan satu orang cenderung untuk disalahgunakan atau abuse of power. Jasmerah, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah," kata Hinca. Ia juga mengatakan, pemilihan presiden oleh MPR jelas merupakan kemunduran demokrasi dan melukai serta menyakiti rakyat. Pemilihan presiden secara Iangsung oleh rakyat, ujar Hinca, adalah konsensus bangsa untuk tidak mengulangi lagi sejarah kelam kehidupan bangsa dan negara di masa lalu.

Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW) Lola Ester, menyebut wacana ini wajar ditolak. Suara penolakan yang gencar ini dianggapnya bisa menyelamatkan demokrasi Indonesia dari ancaman otoriterisme. Lola bahkan bilang wacana penambahan masa jabatan Presiden RI akan mengembalikan negara seperti era Orde Baru.

"Amandemen konstitusi yang sekarang bisa memuluskan lahirnya negara yang otoriter pasca Orde Baru, dalam arti ketika kepala negara bisa diperpanjang lebih dari dua kali. Itu memastikan bahwa peluang otoriter akan terulang lagi," tuturnya.

Jokowi Sinis

Penolakan yang kuat dari berbagai elemen masyarakat ternyata juga merembet ke presiden. Setelah menyampaikan kata-kata yang 'pedas,' dan menganggap wacana telah melebar, Jokowi dengan tegas mengatakan, jika usulan amandemen melebar, lebih baik tak usah ada amandemen. 

Sebagai hasil dari produk pemilu langsung, Jokowi menganggap wacana presiden tiga periode sudah melebar. Jokowi menegaskan, jika ada keinginan MPR untuk melakukan amandemen, maka cukup pada haluan negara saja. Tidak usah melebar hingga ke masa jabatan presiden.  

"Kalau ke mana-mana, lebih baik tidak usah amandemen. Kita konsen saja ke tekanan-tekanan eksternal," ujar Jokowi.