Kamis,  28 March 2024

OPINI

Banjir Jakarta Dan Kerajaan Tarumanegara, Patutkah Kita Emosi?

NS/RN
Banjir Jakarta Dan Kerajaan Tarumanegara, Patutkah Kita Emosi?
Banjir Jakarta.

RADAR NOMSTOP - Banjir memang bikin gemas dan kesal. Tapi, sebagian warga banjir itu ibarat resiko tinggal di Jakarta. 

Seperti di pemukiman padat penduduk di Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di kawasan ini sejak Januari hingga saat ini tercatat sudah enam kali banjir. Warga terpaksa angkat kasur, kulkas dan TV bolak-balik. 

Daerah yang disebut sebagai 'Kampung Kejepit' lantaran terjepit antara perumahan mewah (Green Garden), rel dan kali ini sudah menjadi langganan banjir. 

BERITA TERKAIT :
Kinerja Plt Walkot Bekasi Dibandingkan Dengan Benner
Bawaslu Ada Maka Pemilu Jujur Dan Adil Tercipta

Hampir setiap musim penghujan di RW 08 selalu banjir. Begitu juga warga yang tinggal di kawasan bantaran Kali Ciliwung dan Kali Pesanggrahan. 

Hari ini (25/2/2020), ibukota kembali terendam. Ini adalah luapan air yang kesekian kalinya sejak awal Januari tahun 2020. 

Jakarta yang berada di dataran rendah selalu menjadi langganan banjir. Belum lagi adanya perubahan iklim global yang menyebabkan curah hujan makin ekstrem. 

Beberapa studi dan penelitian menyebutkan saat ini Jakarta mencatat angka curah hujan 377 mm per hari, meningkat dari angka terbesar dengan angka 340 mm pada 2007 lalu. Tak hanya itu, Jakarta terus mengalami penurunan tanah akibat pembangunan gedung besar yang diiringi dengan pengambilan air tanah yang berlebihan.

Jakarta juga mengalami penurunan permukaan tanah kurang lebih 7,5 cm per tahun sejak tahun 1975.

Lahan yang di bawah permukaan laut, sekitar 30 persen sampai 50 persen artinya dari situ banjir dari sisi air laut. Kondisi makin parah ketika air kiriman dari kawasan Puncak, Bogor tiba di Jakarta. 

Jika dilihat dari sejarah, daerah Jakarta dan sekitarnya atau Jabodetabek yang rentan banjir menjadi daerah favorit sejak zaman Kerajaan Tarumanegara.

Dari Prasasti Tugu dijelaskan kalau kawasan Jakarta sudah dilanda banjir sejak abad ke-4 sampai 5.

Prasasti yang disimpan di Museum Nasional Indonesia itu menceritakan Raja Ketiga Tarumanegara Purnawarman yang memindahkan pusat kerajaan dari Jayasinghapura atau puncak Jasinga [sebelah barat Bogor] ke Sundapura [dekat Bekasi] pada 397 masehi.

Alasan pemindahan pusat kerajaan itu antara lain karena posisi Sundapura dekat dengan pinggir laut alias daerah pesisir. Apalagi di sana juga banyak sungai yang mengalir ke laut. Dengan filosofi air adalah sumber kehidupan, dia pun mendekatkan kerajaan dengan sumber air di sana.

Sayangnya, Sundapura yang memiliki banyak sungai itu kerap banjir. Untuk itu, Raja Purnawarman mengatasinya dengan memerintahkan pembangunan kanal di aliran Sungai Gomati [Kali Cakung] dan Sungai Candrabhaga [Kali Bekasi] pada 417 masehi.

Daerah Jakarta dan sekitarnya tetap eksis meskipun berganti era dari kerajaan hindu-buddha menjadi islam.

Hal itu terbukti betapa menggodanya pelabuhan Sunda Kelapa untuk disinggahi para pedagang. Apalagi, para pedagang dari Arab dan China konon sering berdagang di sana.

Ditambah, para pelayar Eropa juga mulai sampai ke daerah Asia Tenggara tersebut. Tulisan opini ini dikutip dari berbagai sumber dan buku soal sejarah Jakarta.