Jumat,  29 March 2024

Biaya Politik Pemilihan Kepala Desa Tinggi, KPK Bidik Dana Desa? 

NS/RN/NET
Biaya Politik Pemilihan Kepala Desa Tinggi, KPK Bidik Dana Desa? 

RADAR NONSTOP - Korupsi menjalar ke mana-mana. Biaya politik yang tinggi disinyalir menjadi penyebab. KPK mengendus adanya potensi korupsi yang terjadi di tingkat desa. 

Hal ini diktakan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Giri Suprapdiono. Kata dia penyebab korupsi tingkat desa salah satu biaya politik yang tidak rasional.

"Apakah kemudian desa juga menjadi inspirator korupsi karena money politic kepala desa? sebenarnya sumber masalahnya adalah politik yang tidak rasional," kata Giri dalam diskusi daring 'Kongres Kebudayaan Desa', Rabu (1/7/2020).

BERITA TERKAIT :
Caleg Terpilih Wajib Lapor LHKPN, Yang Bikin Laporan Palsu Bisa Ditindak 
Warning KPK Untuk Pejabat, BUMN & BUMD, Yang Terima Bingkisan Lebaran Bisa Dipenjara

Ia menyebut biaya politik yang tidak rasional muncul karena adanya budaya politik uang ketika pemilihan kepala desa. Sebab, ia mengatakan para calon kepala desa ini biasanya harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk mendapat suara.

"Saya berpikir dulu bahwa korupsi itu bermula dari desa. ketika orang desa milih kepala desa, mereka harus bayar satu suara mulai Rp 50 ribu, Rp 25 ribu. Bahkan kita lihat di online fenomena harga satu suara di Sumenep paling enggak Rp 1 juta. Pilkada Grobogan Rp 1 juta. Jadi bayangkan ketika zaman saya dulu baru Rp 50 ribu sekarang Rp 1 juta bagaimana desa dulu melakukan money politic," ujar Giri.

Padahal ketika sudah terpilih, para kepala desa ini tidak menerima gaji. Giri menyebut faktor itulah yang membuat kepala desa akan melakukan apapun untuk mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan.

"Kepala desa itu nggak ada gajinya hanya dibayar dengan bengkok. Bengkok yang pada dasarnya untuk pembangunan desa kemudian diasosiasikan sebagai milik kepala desa sendiri, sehingga nilainya, itu kalau panen 3 kali setahun beras angkanya Rp 300 juta. Kalau dia keluarkan Rp 1 M ada untung sedikit, itu dari bengkok," ungkapnya.

Selain itu, Giri mengatakan peluang korupsi itu bisa terjadi karena ada permainan anggaran dalam dana desa. Ia mengatakan, harus ada pengawasan agar korupsi tak terjadi dan menggerogoti dana yang seharusnya diperuntukkan membangun desa.

"Kemudian dia berpikir, wah sekarang lumayan ada dana desa, sekarang lumayan ada beberapa pembiayaan dari pusat yang mulai kepikiran untuk korupsi. Nah tentu ini jadi PR kita pak. Karena seperti bos, kepala desa pikirannya kadang-kadang mulai kepecah dari ngajar sekarang sudah berpikir baja ringan untuk atap sekolah semen segala macam. Ini PR yang kita pecahkan bersama, karena tantangan di desa beda dengan dulu," sebut Giri.

Tak hanya itu, ia menyebut kurangnya apresiasi terhadap pejabat politik tingkat kepala desa hingga RW juga menjadi persoalan. Giri kemudian membandingkan pendapatan gaji kepala desa dengan pejabat kepala daerah yang lain.

"Bupati gajinya Rp 6,5 juta, gubernur Rp 8,5 juta, presiden Rp 69 juta, wapres Rp 40 juta. Yang tidak layak dari dibandingkan dan proses ketika dia terpilih. Negara ini selayaknya harus memikirkan kepala desa setidaknya digaji cukup," kata dia.

"Kalau kita tanya Kota Surabaya, pak lurah gajinya Rp 30 juta di sana pak. Camat bisa Rp 50 juta, tetapi di desa-desa itu gimana? Sehingga yang terjadi adalah kepala desa hasil pemilihan money politic tadi lakukan upaya kemudian merusak perilaku masyarakat desa itu sendiri," lanjut Giri.

Giri mengatakan permasalahan itulah yang kini menjadi perkerjaan rumah KPK bersama pemerintah dan instansi terkait. Sebab diketahui, 36 persen pelaku korupsi yang ditangani KPK merupakan kader politik.

"Ini mengapa jadi pemikiran kita karena 36 persen pelaku korupsi yang ditahan KPK itu kader politik. Kepala daerah salah satunya. Ini PR kita bersama. Dan angka politik ini pengaruhi angka indeks persepsi korupsi kita," tuturnya.