Jumat,  19 April 2024

Incumbent Bersorak

Kepala Daerah Yang Keseret Hukum Ditunda Hingga 2021, Kasus Bansos Corona Gimana?

NS/RN/NET
Kepala Daerah Yang Keseret Hukum Ditunda Hingga 2021, Kasus Bansos Corona Gimana?
Jaksa Agung ST Burhanuddin.

RADAR NONSTOP - Pasangan incumbent bisa tersenyum lega. Sebab, kasus atau proses hukum terhadap pasangan calon kepala daerah yang berkontestasi di Pilkada 2020 ditunda. 

Penundaan hingga terdapat penetapan kepala daerah terpilih. Diketahui, pilkada serentak akan dilakukan pada 9 Desember 2020 artinya proses hukum akan dilanjutkan pada 2021.  

Jaksa Agung ST Burhanuddin beralasan kalau penundaan itu untuk menjaga kondusivitas politik pada Pilkada 2020.

BERITA TERKAIT :
Jelang Pilkada DKI, KPK Pelototi Anggaran Bansos, Kemendagri Jangan Diem Bae Ya?
17 Wajah Lama Tumbang, DPRD Depok Banyak Dihuni Wajah Baru

"Menjaga iklim yang kondusif dengan menunda proses hukum, dari penyelidikan sampai dengan eksekusi, terhadap calon pasangan di setiap tahapan proses pilkada," tegas Burhanuddin saat memberikan sambutan pada acara pelantikan Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum hingga 5 Kepala Kejaksaan Tinggi, dalam keterangan tertulis yang disampaikan Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono. 

Burhanuddin meminta jajarannya untuk mendukung dan menyukseskan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020, salah satunya menjaga iklim kondusif politik dan menunda proses hukum bagi pasangan calon kepala daerah pilkada.

Selain itu, Burhanuddin meminta aparatur kejaksaan menjaga netralitas, independensi, dan objektivitas personel Kejaksaan di satker masing-masing dalam penyelenggaraan pilkada. Pihaknya meminta jajarannya berhati-hati di media sosial dengan tidak menyampaikan dukungan terhadap paslon tertentu.

"Termasuk tidak mengeluarkan maupun menanggapi pernyataan-pernyataan di jejaring dan media sosial yang dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan terhadap calon pasangan kepala daerah tertentu," ujarnya.

Bansos Dikorupsi

Seperti diberitakan, KPK dan Mabes Polri sudah mengendus adanya pemanfaatan Bantuan Sosial (Bansos) oleh kepala daerah. Modusnya adalah dengan mengurangi jatah bantuan.

Selain itu, ada juga paket Bansos dipasangi stiker oleh pasangan calon kepala daerah dari incumbent. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri menyebut pihaknya menerima sejumlah laporan adanya oknum kepala daerah yang mengambil kesempatan dengan 'membonceng' penggunaan dana bansos untuk kepentingan Pilkada mendatang, 9 Desember 2020.

Firli menjelaskan, dana penanganan Covid-19 itu dijadikan sarana sosialisasi diri atau alat kampanye, seperti memasang foto mereka pada bantuan sosial kepada masyarakat yang terkena dampak pandemi ini.

"Tidak sedikit informasi perihal cara oknum kepala daerah petahana yang hanya bermodalkan selembar stiker foto atau spanduk raksasa, mendompleng bantuan sosial yang berasal dari uang negara, bukan dari kantong pribadi mereka, yang diterima KPK," kata Firli melalui keterangan resminya, Sabtu (11/7/2020).

Firli pun membeberkan ciri kepala daerah, disebut juga calon petahana, yang memanfaatkan bansos untuk kampanye terselubung itu dengan melihat pengajuan anggaran di wilayah yang ikut menyelenggarakan pilkada serentak.

"Beberapa kepala daerah yang berkepentingan untuk maju, akan mengajukan alokasi anggaran Covid-19 yang cukup tinggi. Padahal, kasus di wilayahnya sedikit. Ada juga kepala daerah yang mengajukan anggaran penanganan Covid-19 yang rendah, padahal kasus di wilayahnya terbilang tinggi. Hal itu terjadi karena sang kepala daerah sudah memimpin di periode kedua sehingga tidak berkepentingan lagi untuk maju," papar dia.

Temuan itu tentu menjadi sorotan dari KPK, mengingat penanganan Covid-19 sebesar Rp 695,2 triliun berasal dari APBN maupun APBD. Ia meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengingatkan dan memberi sanksi para petahana yang menggunakan program penanganan pandemi Covid-19.

Ada pun sanksi terhadap calon petahana yang memanfaatkan bansos bisa sampai pembatalan calon seperti termakjub pada Pasal 71 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu berbunyi, "Kepala daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih."

Ia menambahkan, korupsi terhadap bantuan sosial saat ada wabah atau bencana alam pun hukumannya tidak main-main. "Kembali saya ingatkan, kepada calon koruptor atau siapapun yang berpikir atau coba-coba mengkorupsi anggaran penanganan Covid-19, hukuman mati menanti dan hanya persoalan waktu bagi kami, KPK, untuk mengungkap semua itu," tutup eks Kapolda Sumatera Selatan itu.