Sabtu,  20 April 2024

Dukung Anak Dan Mantu Jokowi

Partai Gelora Dinilai Langgengkan Dinasti Kekuasaan, Begini Celoteh Fahri Ngeles

RN/NET
Partai Gelora Dinilai Langgengkan Dinasti Kekuasaan, Begini Celoteh Fahri Ngeles
Fahri Hamzah -Net

RADAR NONSTOP - Partai Gelora dukung Gibran Rakabuming (Pilkada Solo) dan Bobby Nasution (Pilkada Medan).

Tak ayal, dukungan tersebut menimbulkan penilaian, Partai Gelora melanggengkan dinasti politik kekuasaan.  Tidak terima partainya dicap seperti itu, Wakil Ketua Umun Partai Gelora, Fahri Hamzah pun bercoleteh panjang lebar ngeles.

Dikatakannya, dalam terminologi negara demokrasi, dinasti politik tidak ada karena semua dipilih melalui prosesi politik, bukan warisan kekuasaan secara turun-temurun.

BERITA TERKAIT :
Anies Bakal Pudar Jika Tak Maju Pilkada Jakarta, Tawaran PKS & NasDem Wajib Dipikirkan...
Wow, Bikin Konten Hoax Kini Jadi Ladang Bisnis Menggiurkan

“Dalam negara demokrasi tidak akan terjadi dinasti politik, sebab kekuasaan demokratis tidak diwariskan melalui darah secara turun temurun," ujar Fahri, seperti dikutip dari laman resmi Partai Gelora Indonesia.

"Namun, dia dipilih melalui prosesi politik, orang yang masuk prosesi politik itu, belum tentu menang dan belum tentu juga kalah,” imbuh politikus kelahiran Sumbawa itu.

Menurut Fahri, dinasti politik saat ini hanya sebagai simbol saja seperti yang terjadi di Inggris, di mana pemerintahan yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu yang demokratis.

“Suara rakyat disahkan oleh raja. Dinasti Windsor yang berkuasa di Inggris dikerangkeng hanya sebagai simbol saja,” katanya.

Fahri menjelaskan, Indonesia sendiri juga pernah dipimpin oleh dinasti politik yang menurunkan kekuasaan secara turun-temurun melalui darah seorang raja, yakni pada masa Kerajaan Mataram kuno yang dipimpin Syailendra, Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram baru yang dipimpin Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya).

“Kalau sekarang di Indonesia, satu-satunya dinasti politik yang tersisa, ya Dinasti Hamengkubuwono di Yogyakarta sebagai kelanjutan Kerajaan Mataram baru. Itu pun kekuasaanya disamakan dengan gubernur, harusnya dinasti itu dipertahankan sebagai kekuatan simbol saja, tidak perlu diberi kekuasaan yang bertanggung jawab publik,” katanya.

Fahri mengungkapkan, keputusan Partai Gelora mendukung Gibran dan Bobby di Pilkada 2020 mendapatkan reaksi beragam, ada yang pro dan kontra.

Pihak yang pro berpandangan sudah sepatutnya, Partai Gelora sebagai partai baru dan terbuka, berkolaborasi dengan siapa saja, termasuk dalam hal dukungan di Pilkada.

Sementara yang kontra menilai Partai Gelora dinilai akan ikut melanggengkan dinasti politik Presiden Jokowi.

Apalagi selama ini Fahri Hamzah kerap mengkritik berbagai kebijakan Presiden Jokowi, sehingga dukungan Partai Gelora kepada Gibran-Bobby itu mengejutkan berbagai pihak.

“Saya berdebat dengan orang-orang yang mempersoalkan, Anda ngerti enggak sih arti dinasti sebagai konsepsi politik? Lalu, saya tanya lagi Anda mengerti enggak oligarki sebagai konsepsi politik? Anda pasti nggak baca itu teori-teori terminologi dinasti politik,” kata mantan Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini.

Fahri pun memaklumi orang-orang yang mempersoalkan dukungan Partai Gelora kepada keluarga Jokowi, karena terlalu banyak membaca terminologi dinasti politik di media sosial (medsos), bukan teori pengertian terminologi sebenarnya.

“Akhirnya jadi percakapan di pinggir jalan, percakapan orang yang tidak berkualitas. Jadi orang bodoh itu, tidak hanya di istana, tetapi juga di pinggir jalan karena tidak berkualitas. Inilah problem kita, harusnya ada otoritas yang memperbaiki terminologi di sosial media,” katanya.

Fahri meminta semua pihak agar mulai membaca secara teks pengertian sebenarnya terminologi dinasti politik itu, bukan sebaliknya mengambil pengertian dari medsos. Sebab, polemik mengenai dinasti politik akan selalu saja terjadi, sehingga bisa menguras energi bangsa kepada perdebatan yang tidak perlu.

“Jadi cara berpikirnya harus berdasarkan pada teks dan dasar pengertiannya harus teoritis. Jadi jangan karena kemarahan kepada seseorang (Jokowi, red), lalu mencomot terminologi yang tidak bisa kita pertanggung jawabkan dihadapan dunia akademik dan juga dihadapan Allah SWT,” pungkas Fahri.