Kamis,  28 March 2024

RUU Kejaksaan, Jaksa diistimewakan

El Rahmi
RUU Kejaksaan, Jaksa diistimewakan
Ilustrasi/net

RADAR NONSTOP - Lembaga kejaksaan terus menjadi sorotan bagi publik. Setelah kasus Djoko Tjandra diikuti pembakaran gedung utama Jaksa Agung, kini lembaga tersebut ramai diperbincangkan karena mengusulkan revisi UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. 

Sorotan mengenai hal ini dilatari mulusnya RUU Kejaksaan dari pembahasan di Badan Legislasi DPR RI pada pekan lalu, Kamis (17/9/2020).

"Perubahannya sangat signifikan hampir di seluruh pasal ini berpotensi memicu konflik antar lembaga penegak hukum," kata Praktisi Hukum dan Anggota Mahupiki, Andrea H Poeloengan di Jakarta, Minggu (27/9).

BERITA TERKAIT :
Diguyur Duit THR, DPRD DKI Banjir Duit, Gak Bahaya Ta?
PKS Belum Tentu Jadi Ketua DPRD DKI, MD3 Lagi Digarap Golkar Untuk Direvisi

Andrea yang juga Komisioner Kompolnas periode 2016-2020 menambahkan, adanya poin perubahan yang menyangkut perluasan kewenangan akan mempersulit kontrol antar Criminal Justice System (CJS) dan mengarah kepada kemutlakan kewenangan Jaksa dalam penegakan hukum karena bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. 

Ia juga memerinci perluasan kewenangan tersebut mencakup masuknya Jaksa pada fungsi pengembangan penyidikan dan penyelidikan; penyadapan; dan melaksanakan mediasi penal. Perluasan kewenangan tersebut juga banyak tercecer pada berbagai pasal, misalnya pada penanganan isu HAM berat.

"Menjadi multitafsir pada definisi Jaksa Agung di pasal 18, disitu disebutkan Jaksa Agung dapat mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan dan tugas-tugas lain yang diberikan oleh negara. Ketentuan ini mengarah kepada kemutlakan kewenangan Jaksa dalam penegakan hukum,” tegasnya.

Hal senada juga diutarakan Profesor Riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo yang mengemukakan berbagai keistimewaan yang diajukan dalam RUU Kejaksaan sangat tidak berimbang dengan situasi dan kondisi kinerja penegakan hukum Kejaksaan.

Menurut Hermawan, berbagai tunggakan perkara yang menumpuk dan permasalahan yang dihadapi Korps Adhyaksa, seharusnya melahirkan introspeksi dan lebih mengedepankan reformasi.

“Pembenahan internal untuk perbaikan institusi Adhyaksa agar lebih baik lagi saat ini lebih penting, ketimbang memburu berbagai keistimewaan dan kewenangan besar,” ucapnya.

Jika selama ini jaksa menjalankan kewajiban dan kewenangannya sebagai Penuntut Umum, lanjut Hermawan, maka perlindungan yang diusulkan dalam RUU Kejaksaan tidak dibutuhkan.

“Jika dalam tugasnya jaksa minta dilindungi, lalu bagaimana dengan polisi dan KPK yang justru dalam menjalankan tugasnya bersentuhan langsung dengan para pelaku kejahatan. Bahkan, polisi lebih mengerikan resiko tugasnya,” ujarnya.

Pria yang kerap disapa Kiki itu memberikan kritik terhadap permintaan kewenangan untuk melakukan penyidikan lanjutan yang diusulkan dalam RUU Kejaksaan, karena menunjukkan indikasi adanya deal politik di Senayan. 

"Hal tersebut mengarah pada, jika perkara-perkara dimajukan oleh penyidik polri, maka jaksa dapat menggunakan kewenangan diskresi dan kewenangan deponering (pengesampingan perkara demi kepentingan umum) untuk tidak melanjutkan perkara tersebut. Bahkan, dengan kewenangan penyidikan lanjutan jaksa dapat melakukan penyidikan tersendiri," urainya. 

Dengan tegas Ia juga mengatakan, para pembuat undang-undang harus menyadari bahwa jaksa bukan penegak hukum sendirian, jangan benturkan jaksa dengan penegak hukum lain dengan cara yang tidak benar.

“Jaksa bukanlah penegak hukum yang berdiri sendiri sehingga dari mulai penyidikan dan penuntutan bahkan memutuskan sendiri terhadap suatu permasalahan hukum. Jika RUU ini terjadi, maka keberadaan penegak hukum lain mungkin saja lama kelamaan akan dibubarkan karena Jaksa sudah dapat menyidik, menuntut dan memutus sendiri suatu permasalahan hukum,” pungkasnya.