Jumat,  04 July 2025

Stop! Pembentukan BUMD Parkir Bukan Solusi, Saatnya Revolusi Digital Dan Transparansi

RN/CR
Stop! Pembentukan BUMD Parkir Bukan Solusi, Saatnya Revolusi Digital Dan Transparansi
Faisal Nasution -Net

RN - Bagaikan lagu lama kaset kusut, narasi tentang kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir setiap tahunnya selalu berulang dan terulang, tak pernah selesai diputar.

Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, pemandangan juru parkir liar tanpa karcis resmi, lahan parkir semi-resmi yang luput dari pendataan akurat, hingga sistem elektronik canggih yang rusak dan dibiarkan mangkrak, sudah menjadi pemandangan sehari - hari, dianggap lumrah dan biasa saja.

Fenomena ini bukan sekadar hilangnya potensi pendapatan, melainkan cerminan dari inefisiensi tata kelola yang akut. Ironisnya, pola yang tak pernah berubah selalu muncul: wacana lama dengan kemasan baru, yakni pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Parkir.

BERITA TERKAIT :
Ditolak DPRD Dishub DKI Tetap Naikin Tarif Parkir, Syafrin Mbalelo?

Begitu diungkapkan, Ketua Umum Forum Kekeluargaan Relawan Pemuda Nusantara (FK Repnus), Faisal Nasution, dikutip Kamis (3/7/2025).

“Ide ini sekilas tampak logis dan menjanjikan. Sebagai entitas bisnis yang dimiliki pemerintah daerah, BUMD memang diharapkan mampu merapikan pengelolaan parkir, menarik retribusi dengan lebih tertib, dan secara signifikan menambah pundi-pundi PAD”.

“Logikanya, dengan manajemen profesional dan otonomi yang lebih besar, BUMD akan lebih lincah dan efektif dibandingkan unit birokrasi pemerintah. Namun, kenyataan di lapangan seringkali tak semulus retorika di atas kertas,” ujar Faisal.

Faisal Nasution melanjutkan, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa pembentukan BUMD justru kerapkali menambah beban anggaran negara, membuka ruang baru bagi birokrasi yang rentan, dan sayangnya, bukan jawaban fundamental atas akar masalah kebocoran yang sesungguhnya. 

“Bukan lembaga baru yang kita butuhkan utuk menyelesaikan kebocoran PAD dari sektor perparkiran, melainkan pembenahan sistem dan tata kelola yang sudah ada,” ucapnya.

Faisal Nasution lalu mencontohkan, fasilitas Park and Ride Kampung Rambutan. Dulu digadang-gadang sebagai percontohan parkir modern berbasis e-money, sebuah sistem pembayaran digital yang seharusnya meningkatkan efisiensi dan transparansi. 

“Namun, dalam waktu singkat, alat pembaca kartu rusak, gerbang otomatis mati, dan para pengguna kembali membayar tunai tanpa karcis resmi. Pendapatan menjadi gelap, sistem tak kunjung diperbaiki, dan peralatan canggih itu dibiarkan mangkrak begitu saja. Ini adalah ilustrasi kegagalan implementasi teknologi dan lemahnya pengawasan, bukan kegagalan konsep BUMD itu sendiri,” ungkap Faisal Nasution.

Lebih memprihatinkan lagi, di tempat yang sama, diberlakukan pula sistem “member bulanan”. Pengguna dapat membayar iuran tetap per bulan untuk bebas parkir. Namun, tak ada kanal pembayaran resmi yang jelas, tak ada laporan transparan mengenai jumlah anggota, dan tidak jelas pula ke mana uang yang terkumpul itu masuk. Ini menunjukkan ketiadaan akuntabilitas, yaitu kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan tugas.

“Tanpa akuntabilitas, sistem apapun—bahkan dengan BUMD sekalipun—akan tetap rentan terhadap penyimpangan,” tegas Faisal.

Oleh karena itu, imbuh Faisal Nasution, membentuk BUMD parkir justru berpotensi menciptakan lembaga baru yang “gemuk” dengan anggaran operasional, direksi, kantor fisik, dan potensi konflik kepentingan yang baru, sementara masalah utamanya berakar pada sistem pengawasan dan transparansi yang lemah.

“Ini sama saja dengan menambal kebocoran kecil dengan lubang yang lebih besar, atau bahkan menciptakan lubang baru di tempat lain,” terangnya.

Solusi Sejati: Revolusi Digital dan Transparansi

Ketua Umum Forum Kekeluargaan Relawan Pemuda Nusantara (FK Repnus), Faisal Nasution menegaskan, solusi yang lebih masuk akal, efisien, dan jauh lebih murah adalah digitalisasi menyeluruh dan implementasi teknologi informasi yang terintegrasi.

“Bayangkan, sistem QR code untuk setiap transaksi parkir, audit real-time berbasis data yang dapat diakses kapan saja, pengawasan ketat melalui CCTV terintegrasi yang terhubung ke pusat kendali, pelaporan digital yang transparan dan dapat diakses publik, serta pelibatan aktif masyarakat melalui aplikasi pelaporan. Ini adalah revolusi digital dalam tata kelola parkir,” beber Faisal Nasution.

Faisal juga menyoroti bahwa kota-kota kecil seperti Banyuwangi dan Semarang bahkan telah membuktikan bahwa mereka bisa meningkatkan PAD parkir secara signifikan tanpa harus membentuk BUMD baru, cukup dengan sistem berbasis data dan pengawasan yang ketat. Ini menunjukkan bahwa kemauan politik dan integritas dalam pengelolaan lebih penting daripada sekadar struktur kelembagaan.

“Kita tidak kekurangan institusi; yang kita butuhkan adalah kemauan politik yang kuat, komitmen nyata untuk memperbaiki sistem yang sudah ada, dan keberanian untuk mengadopsi teknologi yang sudah tersedia,” tegas Faisal.

“Jika sistemnya bocor, maka benahi sistemnya. Bukan membangun kantor baru hanya untuk menyembunyikan lubang yang sama, apalagi menciptakan lubang baru yang berpotensi lebih besar. Mari bergerak menuju transparansi dan efisiensi sejati,” cetus Faisal Nasution.

Lebih lanjut Faisal Nasution juga mengkritisi pola atau gaya pemerintah yang kerap memproduksi lembaga-lembaga baru untuk menyelesaikan masalah lama yang sebenarnya bisa diatasi dengan perbaikan sistem internal. “Seharusnya yang begitu segera dihentikan,” pungkasnya.

#BUMD   #Parkir   #Pansus   #DPRD