RN - Perang antara Thailand dan Kamboja bakal berakhir. Sebab, utusan Kamboja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan pihaknya menginginkan gencatan senjata segera dengan Thailand.
Seruan ini disampaikan setelah kedua negara tetangga tersebut saling serang untuk hari kedua.
Dilansir AFP, Sabtu (26/7/2025), perselisihan perbatasan yang telah berlangsung lama meletus menjadi pertempuran sengit yang melibatkan jet tempur, artileri, tank, dan pasukan darat pada hari Kamis. Hal ini mendorong Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengadakan pertemuan darurat mengenai krisis tersebut pada hari Jumat.
BERITA TERKAIT :SEA Games 2025 Gelap Di Thailand Gelap, Dampak Perang Lawan Kamboja
"Kamboja meminta gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan kami juga menyerukan solusi damai untuk perselisihan ini," kata Duta Besar Kamboja, Chhea Keo, setelah pertemuan tertutup DK PBB yang dihadiri oleh Kamboja dan Thailand.
Utusan tersebut mempertanyakan bagaimana Thailand, negara dengan kekuatan militer besar di kawasan, dapat menuduh Kamboja, negara tetangganya yang lebih kecil, menyerangnya.
"(Dewan Keamanan) meminta kedua belah pihak untuk menahan diri semaksimal mungkin dan menempuh solusi diplomatik. Itulah yang kami serukan juga," kata Chhea Keo.
Lebih dari 138.000 orang telah dievakuasi dari wilayah perbatasan Thailand, menurut Kementerian Kesehatan, melaporkan 15 korban jiwa-14 warga sipil dan seorang tentara. Sementara itu 46 lainnya luka-luka, termasuk 15 tentara.
Pertempuran ini menandai eskalasi dramatis dalam pertikaian berkepanjangan antara kedua negara tetangga atas perbatasan bersama sepanjang 800 kilometer. Keduanya merupakan tujuan wisata populer bagi jutaan wisatawan asing.
Darurat Militer
Pemerintah Thailand menetapkan situasi darurat militer di 8 distrik yang berbatasan dengan Kamboja. Penetapan ini dilakukan di tengah situasi saling serang kedua negara.
Dilansir AFP, Jumat (25/7/2025), hal itu disampaikan oleh Komandan Komando Pertahanan Perbatasan militer di provinsi Chanthaburi dan Trat, Apichart Sapprasert. Dia mengatakan bahwa "darurat militer sekarang berlaku" di tujuh distrik di Chanthaburi dan satu distrik di Trat.
Sementara dilansir Al Jazeera, distrik-distrik yang terdampak adalah Mueang Chanthaburi, Tha Mai, Makham, Laem Sing, Kaeng Hang Maew, Na Yai Am, dan Khao Khitchakut di Provinsi Chanthaburi dan Khao Saming di Provinsi Trat.
Ketegangan di perbatasn Thailand dan Kamboja memasuki hari kedua.Pertikaian memanas menyusul ledakan ranjau yang melukai tentara Thailand di perbatasan pada Rabu (23/7).
Sehari kemudian, atau Kamis (24/7), pertempuran sengit terjadi dengan melibatkan serangan roket, jet tempur, artileri, tank dan pengerahan pasukan darat.
Pertempuran pada Kamis (24/7), menurut militer Thailand, difokuskan di enam lokasi, termasuk di sekitar dua kuil kuno di area perbatasan yang disengketakan.
Dalam pertempuran itu, pasukan Kamboja menembakkan rentetan roket dan peluru artileri ke wilayah Thailand. Sedangkan militer Thailand mengerahkan sejumlah jet tempur F-16 untuk menyerang target-target militer di dalam wilayah Kamboja.
Otoritas Thailand melaporkan sedikitnya 15 orang, sebagian besar warga sipil, tewas akibat serangan Kamboja.
Lebih dari 130.000 orang juga terpaksa mengungsi dari rumah-rumah mereka di area perbatasan Thailand, saat bentrokan dengan Kamboja memasuki hari kedua pada Jumat (25/7). Aksi saling serang masih berlangsung antara pasukan militer kedua negara di area perbatasan yang disengketakan.
Status Kuil Hindu
Perang Thailand melawan Kamboja bermula dari konflik perbatasan. Konflik ini sudah berlangsung lama.
Akar utama masalah terletak pada perebutan wilayah di sekitar Kuil Preah Vihear, sebuah kuil Hindu kuno peninggalan abad ke-11 yang berada di puncak Pegunungan Dangrek, tepat di garis batas negara Thailand dan Kamboja.
Kuil ini bukan hanya warisan budaya, tetapi juga simbol kebanggaan dan identitas nasional kedua negara. Sejarah menunjukkan, sengketa ini berakar sejak masa kolonial Prancis di Indochina. Penetapan perbatasan pasca penjajahan tak pernah benar-benar meredam ketegangan.
Bahkan pada 1962, Mahkamah Internasional memutuskan wilayah kuil menjadi milik Kamboja, namun masalah belum usai karena akses utama kuil lebih mudah dari sisi Thailand, sehingga ketegangan tetap terjadi.
Diketahui, Kuil Preah Vihear menjadi simbol harga diri nasional yang sangat penting. Masyarakat Kamboja menganggap kuil tersebut milik mereka yang harus dipertahankan, sementara banyak warga Thailand memandangnya sebagai warisan budaya mereka. Media dari kedua pihak tak jarang memanas-manasi situasi dengan propaganda nasionalis yang memperburuk ketegangan.
Ketegangan berulang ketika Kamboja mendaftarkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 2008, yang disambut dengan protes keras dari pihak Thailand. Hubungan Thailand-Kamboja pun mengalami pasang surut dengan rentetan insiden di area perbatasan sebagai pemicu konflik militer.
Pada Mei 2025, eskalasi mulai meningkat ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak dengan pasukan Thailand di wilayah sengketa yang dikenal sebagai segi tiga zamrud.
Serangan ranjau darat juga menewaskan dan melukai prajurit Thailand, memicu serangan balasan dari kedua pihak. Ketegangan ini akhirnya memuncak menjadi perang militer pada 24 Juli 2025.
Pertempuran sengit tidak hanya terjadi di sekitar Kuil Preah Vihear, tetapi juga di beberapa lokasi sepanjang perbatasan, termasuk di sekitar Kuil Ta Moan Thoam di Provinsi Oddar Meanchey, Kamboja, serta wilayah Siam di provinsi Surin, Ubon Ratchathani, dan Srisaket. Konflik ini melibatkan serangan roket dari pihak Kamboja dan respons serangan udara dari Thailand menggunakan jet tempur F-16.
Korban yang berjatuhan mencapai belasan jiwa, mayoritas adalah warga sipil termasuk anak-anak. Thailand melaporkan korban mencapai 14 orang, sementara kedua pihak sama-sama menuding satu sama lain sebagai pihak yang memulai agresi militer. Dampak kemanusiaan amat serius, dengan sekitar 40.000 warga Thailand di wilayah perbatasan dievakuasi, dan Kamboja memutus hubungan diplomatik sebagai reaksi atas eskalasi tersebut.