RN - Rencana Initial Public Offering (IPO) PAM Jaya banyak yang salah tafsir. Padahal IPO menjadi pintu masuk untuk pelayanan maksimal kepada pelanggan.
IPO juga membuka celah kepada publik untuk bisa melakukan kontrol dan pengawasan secara terbuka. Apalagi IPO tidak otomatis berarti pelepasan kendali atas sumber daya vital.
Hal ini dikatakan Agung Nugroho, Direktur Jakarta Institute yang juga aktivis 98 dalam siaran pers kepada wartawan, Jumat (12/9).
BERITA TERKAIT :PAM JAYA dan Perseroda PITS Hadirkan Layanan Air Minum Perpipaan Di Perbatasan Jakarta - Tangsel
"Rencana IPO memicu keresahan publik. Kekhawatiran itu wajar air adalah kebutuhan dasar manusia. Logikanya sederhana, bila pengelolaan air jatuh ke tangan investor yang hanya mencari laba, hak rakyat bisa terabaikan," tegasnya.
Namun, ketakutan itu tidak sepenuhnya beralasan. IPO tidak otomatis berarti pelepasan kendali atas sumber daya vital. Ada sejumlah alasan mengapa publik justru bisa melihat IPO sebagai peluang memperkuat pelayanan air bersih.
Pertama, hukum menegaskan air sebagai hak dasar rakyat. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air jelas menyebutkan bahwa air dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
"Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum menegaskan hal serupa: air minum harus tersedia secara berkelanjutan, merata, dan terjangkau. Regulasi daerah, seperti Pergub DKI Jakarta Nomor 52 Tahun 2021 dan Pergub Nomor 7 Tahun 2022, mempertegas mandat itu dalam konteks Jakarta," terang Agung.
Pintu Transparansi
Kedua, posisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemegang kendali. IPO bukanlah penjualan mayoritas saham. Selama Pemprov tetap menjadi pemegang saham pengendali atau memiliki hak veto, arah kebijakan tidak akan keluar dari mandat pelayanan publik.
Ketiga, IPO justru membuka pintu transparansi. Status perusahaan terbuka menuntut laporan keuangan dan kinerja diumumkan secara berkala. Publik dan pemegang saham bisa menagih akuntabilitas. Ini berbeda dengan perusahaan tertutup yang sering berjalan tanpa pengawasan luas.
Keempat, tambahan modal dari IPO bisa mempercepat target layanan 100 persen. Tanpa suntikan dana segar, program perluasan jaringan akan tersendat, dan kelompok miskin tetap menjadi korban.
Tentu, ada risiko bila IPO dijalankan tanpa pagar pengaman. Maka ada beberapa antisipasi yang mutlak dilakukan: membatasi kepemilikan asing atau korporasi besar, menetapkan aturan dividen dan tarif yang melindungi konsumen, memasukkan klausul pelayanan publik dalam anggaran dasar perusahaan, serta memastikan pengawasan ketat dari DPRD dan lembaga independen.
"Air adalah hak, bukan barang dagangan. Regulasi nasional hingga kebijakan daerah sudah cukup kuat untuk memastikan hal itu," ungkap Agung.
Dengan komitmen Pemprov DKI Jakarta mempertahankan kendali, publik tidak perlu khawatir. IPO PAM Jaya seharusnya dibaca bukan sebagai liberalisasi air, melainkan sebagai strategi memperkuat kapasitas perusahaan agar setiap warga Jakarta mendapat haknya: akses air bersih yang adil, terjangkau, dan berkelanjutan.(IKL)
