Kamis,  06 November 2025

Matikan Pasar

Raperda Anti Rokok, Anti Rakyat?

M. RA
Raperda Anti Rokok, Anti Rakyat?
Penolakan rakyat atas Raperda KTR.

RN - Langkah Pemprov DKI Jakarta dan DPRD yang tengah menggodok Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menuai sorotan tajam dari kalangan ekonom. Alih-alih dianggap sebagai kebijakan progresif untuk melindungi kesehatan publik, aturan ini justru dikhawatirkan bakal jadi bumerang bagi ekonomi rakyat kecil.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperingatkan agar pemerintah daerah tak gegabah membuat kebijakan yang bisa berujung mencekik sektor informal, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, mengatakan, bahwa pasal-pasal pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah, taman bermain, dan pasar tradisional sama saja mengabaikan realitas ekonomi rakyat.

BERITA TERKAIT :
Menpar Widiyanti Kena Colek DPR, Disuruh Genjot Wisatawan Arab 

“Pedagang kecil itu bantalan ekonomi Jakarta. Kalau mereka ditekan lewat aturan seperti ini, efeknya bisa berantai, omzet turun, daya beli melemah, pengangguran meningkat. Akhirnya, stabilitas sosial pun terguncang,” kata Rizal dalam keterangannya, Selasa (4/11).

Lebih jauh, Rizal juga menyoroti ancaman kehilangan hingga 50 persen pendapatan daerah dari sektor tembakau, angka yang bahkan diakui sendiri oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRD. Ia menilai, Pemprov DKI terlalu berani menutup kran penerimaan daerah tanpa menyiapkan penggantinya.

“Ini bukan soal pro atau anti rokok, tapi soal logika fiskal. Jangan memotong sumber pendapatan tanpa rencana cadangan. Raperda KTR seharusnya mencari titik seimbang antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat,” katanya.

Rizal juga menilai pendekatan represif dalam kebijakan semacam ini sudah ketinggalan zaman. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada edukasi dan pengaturan zona publik bebas rokok, bukan membatasi habis ruang usaha mikro yang selama ini menopang perekonomian lokal.

"Kebijakan yang efektif adalah yang berfokus pada edukasi dan kawasan publik bebas rokok, namun tetap memberi ruang legal bagi usaha mikro agar kebijakan ini inklusif dan tidak menimbulkan eksklusi ekonomi baru,” tutur Rizal.

Namun, DPRD DKI tampak tetap melaju tanpa banyak kompromi. Ketua Pansus Raperda KTR, Farah Savira, memastikan draf Raperda sudah rampung dengan 27 pasal dan 9 bab, dan pasal pelarangan penjualan dalam radius 200 meter akan tetap dipertahankan.

“Jadi secara aturan kita menegaskan tidak, tapi nanti kalau secara persyaratan dan penegasan di Pergub itu juga bisa,” katanya.

Sikap keras DPRD ini sontak memancing penolakan dari kalangan pedagang. Ketua Dewan Pertimbangan Wilayah APPSI DKI Jakarta, Ngadiran, menyebut kebijakan tersebut sebagai pukulan telak bagi pelaku usaha kecil.

“Omzet kami sudah turun sampai 60 persen. Sekarang mau dilarang jualan rokok lagi? Ini bisa mematikan pasar rakyat. Kami minta pasal itu dicabut,” tegasnya.

Bagi banyak pihak, Raperda KTR kini bukan lagi sekadar isu kesehatan publik, tapi potret nyata bagaimana kebijakan sering kali tak berpihak pada mereka yang paling lemah.

Di tengah krisis ekonomi dan tingginya biaya hidup di ibu kota, larangan-larangan semacam ini terasa seperti menutup napas terakhir pedagang kecil, atas nama kesehatan, tapi dengan konsekuensi sosial yang belum tentu siap ditanggung.

 

#Raperda   #Anti   #Rokok