RN – Ledakan ekonomi digital dalam sepuluh tahun terakhir membuat layanan transportasi online menjadi urat nadi mobilitas masyarakat Indonesia. Namun di balik kemudahan satu sentuhan aplikasi, ada jutaan pengemudi roda dua dan roda empat yang menjadi tulang punggung operasional, dan hingga kini, kesejahteraan mereka masih tertinggal jauh. Berbagai persoalan struktural membuat para driver terus menjerit, mulai dari tarif rendah, potongan aplikator, hingga minimnya perlindungan hukum.
Pengelolaan transportasi online saat ini menyisakan banyak lubang besar yang belum ditutup. Mulai dari belum jelasnya integrasi ojek dan taksi online dalam sistem transportasi umum, lemahnya standar operasional, perlindungan sosial yang belum menyentuh pengemudi, hingga status mereka yang tidak diakui sebagai pekerja formal sehingga tidak mendapat jaminan sosial yang layak.
Melihat situasi ini, Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Golkar, Hanan A. Rozak, menegaskan perlunya langkah besar untuk memperjuangkan kesejahteraan sekitar empat juta pengemudi online di seluruh Indonesia. Ia menilai regulasi baru harus membangun kemitraan yang adil, transparan, dan proporsional antara aplikator dan pengemudi, terutama dalam pembagian keuntungan dan hubungan kerja.
BERITA TERKAIT :DPRD DKI Sepakat Bentuk Tim Percepatan Ranperda
Isu tentang kesejahteraan pengemudi kembali “meledak” saat Serikat Pengemudi Online Indonesia (SPOI) mengajukan tuntutan kenaikan tarif dasar per km dalam audiensi di ruang rapat Komisi V DPR RI, Senayan. Hanan langsung memberikan dukungan penuh. Ia menilai kenaikan tarif adalah kunci meningkatkan pendapatan pengemudi yang sejak 2022 tidak pernah mengalami penyesuaian, meski biaya operasional seperti bensin, onderdil, dan servis kendaraan terus meroket.
Ketua SPOI, Muchtar, menegaskan bahwa tarif dasar adalah acuan vital pendapatan driver. Jika tarif tidak bergerak, maka kesejahteraan mustahil meningkat.
Untuk mengatasi tarik-ulur antara aplikator dan pengemudi, Hanan mendorong pembentukan forum tripartit—pengemudi, aplikator, dan pemerintah—sebagai ruang negosiasi resmi yang lebih adil dan tidak memihak.
Dalam pertemuan tersebut, pengurus SPOI diterima langsung oleh Wakil Ketua Komisi V DPR RI Ridwan Bae, bersama Hanan A. Rozak dan Deni Mutaqien dari Fraksi Golkar.
Hanan juga menyoroti beban biaya yang terus menghimpit para pengemudi, bensin mahal, cicilan kendaraan, biaya perawatan, hingga potongan aplikator 20–30 persen yang dianggap sangat memberatkan. Ia menjelaskan bahwa istilah potongan sering disalahpahami; hak pengemudi Rp2.550/km sebenarnya diterima penuh, namun potongan aplikator dibebankan kepada pengguna. Karena itu, menaikkan pendapatan driver tak mungkin berhasil tanpa menaikkan tarif dasar per km secara menyeluruh.
Solusi ideal menurutnya adalah menaikkan tarif pengemudi dan menurunkan potongan aplikator secara proporsional sehingga keseimbangan antara pengguna, pengemudi, dan perusahaan tetap terjaga.
Tak berhenti di situ, Hanan juga mendorong percepatan pembahasan revisi UU LLAJ pada 2026 guna mempertegas legalitas motor dan mobil online sebagai moda transportasi umum, menutup celah dualisme pengawasan, serta menyesuaikan aturan dengan model bisnis sharing economy, termasuk pengakuan kendaraan sebagai aset pribadi pengemudi.
Golkar juga telah mengusulkan RUU Perlindungan Pekerja Ekonomi GIG sebagai Prolegnas Prioritas 2026. RUU ini dirancang untuk memastikan pengemudi online mendapat perlindungan hukum, jaminan sosial, dan status kerja yang lebih jelas.
Pada akhirnya, Hanan menegaskan bahwa perjuangan untuk pengemudi online bukan hanya soal tarif dan pendapatan, melainkan membangun ekosistem yang melindungi, memberi kepastian, dan membuka jalan masa depan bagi jutaan pekerja platform digital di seluruh Indonesia.